Jumat, 01 April 2011

[REVIEW] Bawah Tanah; Pemikiran, Musik, dan Peradaban

Bawah tanah. Lebih gaya disebut under ground. Sebuah sub kultur yang telah masuk ke negara kita nyaris tanpa filtrasi yang menyebabkan tidak terjadinya pemahaman yang holistik. Meskipun dimulai dengan perjuangan yang tak mudah untuk dapat menciptakan suatu “peradaban baru” dengan motif resistensi terhadap kemapanan sistem nilai dan norma yang ada di masyarakat pada saat itu di sana. Underground adalah sesuatu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apapun dan bagaimanapun, underground khususnya punk sudah diakui sebagai sebuah eksponen histori dan sub kultur yang menginfluens tidak sedikit anak muda di dunia terutama di Eropa Barat dan Amerika. Kini dengan kecanggihan teknologi komunikasi, underground juga semakin menyerang masuk ke negara berkembang.

Jika underground mau dipandang lebih dalam, di sana terdapat banyak nilai filosofi empirik, cara pandang atau berpikir, cara mengaktualisasikan diri, dan cara membangun masyarakat atau peradaban. Underground adalah cara hidup. Inilah yang mendasari beberapa ahli ilmu sosial di dunia berani memasukkan underground sebagai sebuah sub kultur. Dalam menyampaikan pemikiran, pandangan, aktualisasi diri, dan cara membangun masyarakat, dan semua nilai – nilai baik tersebut, underground menggunakan musik, tarian, busana, dan lainnya sebagai media yang dirasa paling pas. Perlu dipahami, musik, tarian, busana, dan lainnya itu hanya alat untuk mencapai tujuan hasil pemikiran. Bukan underground itu sendiri.

Sehingga dikenallah musik underground yang didiferensiasi ke dalam berbagai genre. Yaitu musik yang berlirik perjuangan membela proletariat, kesetaraan gender, demokrasi, persamaan hak politik, dan isu sosial dan politik lainnya. Juga musik yang dengan sengaja diciptakan dengan melanggar pakem – pakem yang dianut oleh masyarakat musik pada saat itu di sana. Sengaja dibuat cepat, keras, seperti tidak beraturan. Hal ini bukan semata karena insting bermusik tapi merupakan wujud protes terhadap kemapanan sistem nilai yang dianggap tidak adil. Begitu juga dengan tarian dan tentu saja busana. Hal-hal tersebut dilakukan sebagai dampak kefrustasian mereka terhadap penilaian baik dan buruk yang diciptakan oleh sistem masayarakat berkasta. Mereka depresi karena tidak mampu untuk berpakaian sebaik para bangsawan namun tidak mau terus terhina dan menjadi masyarakat kelas dua. Oleh karena itu, karena ketidakberdayaan itu, mereka dengan sengaja melanggar nilai –nilai masyarakatnya untuk mencipatakan suatu “peradaban” yang sama sekali baru. Dan mereka berhasil. Salut buat leluhur kita.

Namun tidak semua nilai baik yang dikandung oleh underground sampai ke otak dan hati orang Indonesia (khususnya Cianjur) yang menerima underground sebagai sebuah bagian dari hidupnya. Mereka (kebanyakan) mengadaptasi underground tidak secara holistik sehingga banyak missing link yang membuat underground movement di Indonesia terasa rancu cenderung distorsif. Inilah permasalahannya.

Nah, jika kita bicara tentang distorsi pemahaman terhadap suatu pemikiran atau idealisme atau kebudayaan atau religi sekalipun maka hal itu tidak dapat dilepaskan pada permasalahan proses transformasi hal tersebut. Distorsi mungkin sengaja dilakukan sebagai bentuk adaptif terhadap kondisi sosial sebelumnya atau distorsi terjadi akibat tidak sempurnanya transformasi hal tersebut.

Jika teori sosial ini diterapkan untuk melihat permasalahan distorsi yang terjadi pada underground maka sudah jelas opsi kedualah yang menyebabkan terjadinya distorsi. Karena sama sekali tidak ditemukan adanya usaha untuk menyesuaikan terhadap kondisi sosial secara antropologis dan psikologis.

Kita ambil contoh. Musik underground adalah musik kelas pekerja (proletar kalo Om Marx bilang). Musik yang diciptakan dari alat seadanya yang dimainkan sambil melepas lelah setelah seharian bekerja di pabrik (Manchester adalah kota industri) ditemani sebotol bir hasil kerja satu hari penuh. Ini adalah cara mereka melepas lelah dari pekerjaan yang terpaksa mereka jalani karena kesulitan lapangan pekerjaan. Dan tak ada pilihan untuk menganggur karena buat mereka lelaki dewasa yang masih menggantungkan hidupnya pada orang tua itu lebih terhina daripada banci. Dalam kekesalan dan kelelahan mereka sering kali mereka membuat lirik dengan spontan sambil berteriak-teriak menghina keadaan. Ini semata-mata hanya karena mereka frustasi terhadap keadaan. Dan itulah kenyataan.

Nah, setelah underground masuk ke Indonesia tak ada penyesuaian dengan kondisi sosial setempat. Jika punk adalah musik kelas pekerja di Inggris maka kita harus berani mengakui bahwa dangdut adalah musik kelas pekerja di Indonesia. Bagi itu kaum marjinal kota maupun marjinal desa. Buruh pabrik kita penggemar dangdut, tukang beca kita pengemar dangdut, supir kendaraan umum kita penggemar dangdut, petani kita penggemar dangdut, nelayan kita penggemar dangdut, semua kelas pekerja atau kaum marjinal atau proletar kita adalah penggemar dangdut. Hampir tidak ditemukan ada dari mereka yang mendengarkan punk atau musik underground yang kita kenal sekarang.

Musik kelas pekerja kita adalah dangdut! Jangan merasa hebat dengan musik keras yang justru dihina oleh para petani, buruh, dan kaum marjinal lainnya. Hadapi realita konteks hari ini di sini!

Ini Cianjur bukan Manchester..
Ini Indonesia bukan United Kingdom..
Ingat kawan, musik hanya media untuk mengaktualisasikan diri dan menyampaikan pemikiran! Musik bukan tujuan utama underground. Tujuan utama underground adalah untuk memperjuangkan nasib kaum marjinal yang semakin tertindas akibat pemerintah yang salah urus, akibat pengusaha yang rakus, akibat politisi kakus, dan akibat pelajar yang tak pernah pintar. Lantas jika kita memilih media yang tak pernah mau mereka dengar, di mana letak perjuangan kita? Kapan kita akan memberikan kesadaran akan kehidupan yang lebih baik pada mereka? Atau kita ber underground ria sekedar untuk jadi artis lokal yang dikerebuti cewe sekolahan yang pake kaos Rancid tapi masih dengerin Kangen Band?

Hal seperti ini yang membuat underground movement di Indonesia menjadi banci. Kapan akan kita lihat lagi demonstran yang mengkritisi kebijakan pemerintah dengan rambut mohawk, celana merecet, pake sepatu boot, mengacungkan kepal sambil berteriak dengan semangat yang berasal dari hati nurani dan kesadaran penuh dalam memperjuangkan pedagang kaki lima yang digusur paksa oleh aparat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu?!

Kapan pemuda – pemuda underground berkarya dalam bentuk nyata untuk mensejahterakan kaum marjinal dan masyarakat miskin kota dengan cara membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya dan bersaing dengan perusahaan multi nasional yang mengusung neoliberalisme yang semakin mematikan usaha kecil dan menengah?!

Kapan musisi – musisi underground akan berdiri dihadapan ribuan siswa sekolah dalam sebuah kelas umum berbicara tentang bahaya narkoba dan kesadaran akan pendidikan formal sebagai bekal untuk berperang melawan penjajah asing yang masuk lewat MTV dan McDonald?!

Maaf jika tulisan saya tidak berdasar karena saya tidak punya cukup sumber untuk bicara tentang underground karena memang kawan – kawan yang militant di underground yang saya kenal tidak pernah bicara tentang ini.. Mereka hanya mengenal underground sebagai genre musik dan gaya berpakaian yang dibuat-buat tanpa tujuan dan alasan. Nu penting gaya ceuk manehna..

Cianjur, 10 Desember 2007
pejuang_picisan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar